Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) pada tahun 2026 mendapat apresiasi luas dari kalangan akademisi. Langkah ini dinilai sebagai kebijakan fiskal yang strategis dan fleksibel dalam menjaga keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT). Kebijakan tersebut dianggap memberikan napas baru bagi sektor padat karya yang melibatkan jutaan tenaga kerja, mulai dari petani tembakau hingga pekerja pabrik. Kepala Laboratorium Departemen Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Kun Haribowo, menilai keputusan Purbaya sebagai bentuk kebijakan fiskal yang adaptif dan berpihak pada stabilitas industri. Menurut Kun, kebijakan tersebut tidak hanya mengejar penerimaan negara secara kaku, namun juga mempertimbangkan stabilitas industri padat karya, potensi inflasi dari kenaikan harga rokok, serta memberikan ruang bagi industri hasil tembakau dan petani tembakau di tengah penurunan daya beli masyarakat.
Kun juga menjelaskan bahwa keputusan untuk menunda kenaikan tarif cukai tetap dapat menjaga penerimaan negara dari tahun ke tahun, namun memberi waktu bagi industri untuk memperkuat kembali daya saingnya. Selain itu, langkah moratorium tersebut membuka kesempatan bagi pemerintah untuk merancang struktur tarif yang lebih efektif dan seimbang ke depannya. Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Henry Najoan, menyebut keputusan Menteri Keuangan Purbaya sebagai langkah penting dalam menyelamatkan industri tembakau yang tengah mengalami tekanan berat. Henry menegaskan bahwa moratorium tarif cukai akan membantu menjaga kelangsungan usaha dan mencegah penurunan lapangan kerja lebih lanjut, sehingga industri dapat fokus pada peningkatan produktivitas dan kontribusinya terhadap perekonomian nasional.












