Indonesia kini berada dalam sebuah dilema yang rumit terkait arah modernisasi kekuatan udara TNI AU, yang mendapat sorotan dari media internasional. Di satu sisi, Indonesia memiliki peluang untuk mendapatkan pesawat tempur Amerika Serikat yang mematikan, Boeing F-15EX Eagle II. Namun, Indonesia juga terikat pada proyek bersama dengan Korea Selatan dalam pengembangan jet tempur generasi 4.5 KF-21 Boramae. Pilihan antara membeli teknologi siap pakai dari sekutu strategis atau berinvestasi dalam proyek bersama yang berisiko dan penuh utang menjadi tantangan yang tidak hanya berkaitan dengan pesawat tempur, tetapi juga masa depan industri pertahanan Indonesia.
Keputusan ini dianggap “membingungkan” namun strategis oleh media pertahanan luar negeri. Sebuah drama di balik layar sedang terjadi yang membuat masa depan kekuatan udara Indonesia menjadi tak pasti. Ketertarikan Indonesia pada F-15EX Eagle II bukan hal yang sepele, melainkan sebuah program yang diawasi secara internasional dan melibatkan persetujuan langsung dari Amerika Serikat sejak tahun 2022. Namun, kendala politik dan komitmen lain menunda proses pembelian ini.
Di sisi lain, proyek KF-21 Boramae dengan Korea Selatan juga merupakan bagian dari strategi Indonesia dalam memperkuat kemandirian industri pertahanan. Meskipun terdapat kendala dalam pembayaran, Indonesia tetap berupaya untuk mempertahankan komitmen dalam proyek ini. Keputusan Indonesia, yang tidak hanya didasari oleh pertimbangan teknis namun juga geopolitik, mempertimbangkan hubungan dengan Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Prancis.
Masa depan Angkatan Udara Republik Indonesia sangat dipengaruhi oleh pilihan sulit antara memilih F-15EX yang menawarkan kemampuan tempur yang siap digunakan secara langsung, atau tetap berkomitmen pada KF-21 untuk membangun kemandirian industri pertahanan dengan konsekuensi panjang. Keputusan akhir Indonesia akan menentukan arah modernisasi kekuatan udara dan industri pertahanan untuk masa depan.
