Setelah empat tahun kepemimpinan Stellantis yang berliku-liku, Carlos Tavares tiba-tiba mengundurkan diri pada bulan Desember lalu, walaupun masa kontraknya tinggal satu tahun lagi. Proses pencarian penggantinya berlangsung sekitar enam bulan sebelum akhirnya Antonio Filosa diangkat untuk memimpin konglomerat otomotif tersebut, yang terdiri dari 14 merek mobil. Dari Naples, Italia, Filosa memegang dua peran sekaligus, yakni memimpin divisi Amerika Utara dan merek Amerika.
Filosa saat ini tengah mengevaluasi strategi jangka panjang Stellantis yang dikenal sebagai “Dare Forward 2030” untuk menentukan apakah perlu dilakukan penyesuaian. Sebelum mengambil keputusan besar, ia mengajak karyawan untuk tidak lagi mengidentifikasi diri mereka sebagai mantan staf Fiat Chrysler Automobiles atau Peugeot Citroën, melainkan merangkul identitas bersama sebagai “Kami adalah Stellantis”.
Pendekatan tersebut sepertinya beralasan karena sudah empat tahun sejak merger antara FCA dan PSA. Dengan kepemimpinan baru di bawah CEO baru, Stellantis berfokus pada pergerakan ke depan dan menampik keterpakuannya pada masa lalu. Filosa juga menekankan kepada karyawan agar merasa bebas untuk berbicara dan didengarkan, dan menegaskan bahwa ia tidak akan bersikap tertutup.
Meskipun beberapa merek, seperti Maserati, sedang mengalami kesulitan, Stellantis menunjukkan komitmen terhadap anak perusahaannya yang lain. Kerjasama yang lebih erat di antara merek Alfa Romeo dan Maserati serta tantangan dalam mengembangkan merek lain, seperti Lancia dan Abarth, menjadi fokus bagi Filosa.
Filosa memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengelola portofolio merek Stellantis yang luas, yang mana beberapa di antaranya membutuhkan penyegaran. Namun, apakah Stellantis dapat meniru kesuksesan Grup Volkswagen masih menjadi tanda tanya besar. Tantangan yang dihadapi saat ini jauh lebih kompleks, termasuk meningkatnya persaingan, peraturan yang lebih ketat, dan biaya produksi yang semakin meningkat.