Senin, 3 Juni 2024 – 22:49 WIB
Jakarta – Sebagai salah satu negara Nordik, Norwegia dikenal sebagai negara yang aktif dalam perlindungan lingkungan dan pengurangan emisi karbon.
Indonesia sendiri memiliki hubungan kerjasama dengan Norwegia dalam hal pendanaan untuk penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang tertuang dalam kesepakatan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) tahun 2010.
Namun, kerjasama ini berakhir pada 2021, dan membuktikan bahwa pemutusan kerjasama tidak berpengaruh sama sekali terhadap komitmen RI pada pemenuhan target pengurangan emisi.
Ahli Emisi Karbon yang juga pernah menjadi Ketua Umum Perhimpunan Alumni Jerman, Osco Olfriady Letunggamu menilai pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, Andreas Bjelland Eriksen di Istana Merdeka pada Minggu, 2 Juni 2024, sebagai langkah positif dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Pertemuan itu juga memberikan pemahaman serta persepsi yang tepat agar tidak terjadi diskriminisasi Eropa terkait sawit Indonesia.
“Pertemuan semacam ini menjadi penting karena membahas strategi dan kolaborasi antar negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi lingkungan,” kata Osco di Jakarta, Senin, 3 Juni 2024.
Selain itu, keberhasilan Indonesia dalam menurunkan emisi karbon sejak tahun 2020 hingga 2023 berhasil melampaui target komitmen penurunan emisi karbon sejak 2020, sebanyak 945 juta ton sampai pada tahun 2022 sebesar 875 juta ton.
Osco sendiri melihat diplomasi politik hijau internasional yang dilakukan Jokowi sangat piawai dalam pertemuan ini. Apalagi, pertemuan itu berlangsung di hari libur.
“Pak Jokowi ingin membuat Norwegia sebagai Mitra Politik Hijau yang strategis dan secara paralel Jokowi menyampaikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia mempunyai atensi yang sangat tinggi terhadap emisi karbon, tata kelola dana lingkungan hidup dan niaga karbon kredit,” ujarnya.
Lebih jauh, pencapaian Indonesia pada target Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink untuk tahun 2030 terkait penggunaan hutan dan lahan juga akan memberikan manfaat ganda,
yaitu membantu Indonesia memenuhi target pengurangan emisi dan mendukung pembangunan berkelanjutan di berbagai sektor, termasuk pertanian, kehutanan, dan energi.
“Kredit karbon menjadi instrumen penting dalam memfasilitasi transfer teknologi dan investasi ke sektor-sektor yang ramah lingkungan, serta memberikan insentif bagi negara-negara berkembang untuk mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan,” jelas Osco.
Namun, menurut Osco, penting untuk memastikan bahwa kerja sama ini didasarkan pada prinsip-prinsip yang adil dan transparan, serta memperhatikan kepentingan dan hak-hak
masyarakat adat serta pelaku ekonomi lokal.
Selain itu, perlu juga dipertimbangkan mekanisme pengawasan dan verifikasi yang kuat untuk memastikan bahwa proyek yang didukung benar-benar memberikan manfaat yang signifikan dalam mengurangi emisi karbon dan menjaga kelestarian lingkungan.
“Secara keseluruhan, pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Menteri Eriksen merupakan langkah positif dalam memperkuat kerja sama internasional dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.”