Selasa, 30 Januari 2024 – 06:14 WIB
Jakarta – Keperkasaan dolar AS yang telah bertahan selama lebih dari 100 tahun sejak 1920-an. Banyak negara yang berusaha melepaskan diri dari dominasi “penjajahan” greenback, sehingga peredaran dolar AS di dunia mengalami penurunan.
Menurut data Dana Moneter Internasional (IMF), cadangan devisa global yang berdenominasi dalam dolar AS telah mengalami penurunan signifikan, turun dari 71% pada tahun 2000 menjadi 58,36% pada tahun 2022. Pada akhir tahun 2022, total cadangan devisa di seluruh dunia mencapai US$ 11,09 triliun, dengan mata uang dolar AS mencapai US$ 6,47 triliun.
Dibawahnya terdapat euro dengan porsi sebesar 20,47%, diikuti oleh yen Jepang (5,51%) dan poundsterling (4,95%). Beberapa negara telah mencatatkan langkah meninggalkan dolar AS, dan trend ini diperkirakan akan terus berlanjut. Berikut deretan negara yang tak bergantung dengan dollar AS.
India-Malaysia-UEA
Lebih lanjut, India telah mengeluarkan kebijakan baru untuk semakin meningkatkan penggunaan rupee dalam perdagangan mereka sejak April 2023. Salah satunya dengan Malaysia dan Uni Emirat Arab (UEA).
India pun menjalin kesepakatan dengan Malaysia untuk menggunakan mata uang masing-masing dalam transaksi perdagangan. Hal sama juga terjadi ke Uni Emirat Arab (UEA), untuk menggunakan mata uang lokal rupee dan dirham, sebagai pembayaran perdagangan non-minyak mentah.
Sebenarnya, sebelum Malaysia dan UEA, sudah ada 17 negara yang sepakat dan bisa menggunakan rupee sebagai alat pembayaran. Jerman, Inggris dan Singapura di antaranya.
Dedolarisasi di Eropa sudah lama merebak. Berdasarkan data Atlantic Council yang mengutip data dari bank sentral AS (Federal Reserve/The) pada periode 1999-2019, penggunaan dolar AS memang sedikit di kawasan ini. Di Eropa, menurut Atlantic Council, hanya 23,1% saja yang menggunakan Greenback.
Hal ini tak lain karena penggunaan euro. Eropa memiliki mata yang tunggal euro yang digunakan oleh perdagangannya, ekspor dan impor, pinga 66,1%.
Sebanyak 10 negara anggota ASEAN sepakat untuk mengurangi penggunaan dolar AS dengan melakukan kerja sama transaksi pembayaran lintas batas dengan menggunakan mata uang lokal atau disebut dengan local currency transaction (LCT).
Lima negara ASEAN, yakni Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina telah meneken kerjasama transaksi pembayaran lintas batas sejak November 2022, di tengah pelaksanaan KTT G20 Indonesia.
Kerja sama pembayaran lintas batas 5 negara ASEAN tersebut mencakup kode QR, fast payment, data, RTGS, dan transaksi mata uang lokal. Tiga negara ASEAN lainnya, seperti Laos, Kamboja, dan Brunei Darussalam juga tertarik untuk bekerja sama. Bahkan, penyelenggaraan LCT ini akan terus berkembang hingga ke wilayah Asia dan Timur Tengah, termasuk Korea Selatan, Dubai dan Arab Saudi.
Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan semakin mematangkan persiapan dalam menciptakan alat pembayaran baru. Proses ini dibuat berdasarkan strategi pengurangan total mata uang dolar atau euro.
Hal tersebut diutarakan anggota parlemen Rusia Alexander Babakov saat berkunjung ke India. Dikutip dari media India, Livemint, Kamis (6/3/2023), sebuah laporan mengindikasikan bahwa mata uang baru akan diamankan dengan emas dan komoditas lain termasuk elemen tanah jarang.
Sayangnya, detil rencana ini belum diungkap jelas. Babakov sendiri mengatakan bakal ada pembahasan lagi di KTT BRICS Agustus 2023.
Sebenarnya, keinginan penggunaan “mata uang” lain di BRICS sudah tercetus sejak 2009. Dalam pertemuan pada Juni 2009, pemimpin negara anggota ingin menambah “pengaruh.
Halaman Selanjutnya
India pun menjalin kesepakatan dengan Malaysia untuk menggunakan mata uang masing-masing dalam transaksi perdagangan. Hal sama juga terjadi ke Uni Emirat Arab (UEA), untuk menggunakan mata uang lokal rupee dan dirham, sebagai pembayaran perdagangan non-minyak mentah.