Saya pertama kali bertemu dengan Pak FX Sudjasmin pada tahun 1983, saat beroperasi di Timor Timur. Pasukan Fretilin melanggar kontak damai dengan melakukan penyerangan besar-besaran di hampir semua konsentrasi TNI, terutama di sektor tengah dan Timur.
Saat itu, saya menjabat sebagai Wakil Komandan Detasemen 81. Tim saya diberi sandi Chandraca 8, dengan panggilan Bravo. Pasukan Bravo dimasukkan ke sektor tengah, markasnya di Ossu, setengah perjalanan antara Baucau dan Viqueque. Komandan Sektornya adalah Letkol FX Sudjasmin.
Saat pertama kali bertemu, saya langsung melaporkan kepada beliau di markas yang menempati gedung bekas Kesusteran, salah satu gedung terbesar di Ossu. Saya melihat Pak Sudjasmin sebagai sosok Jawa yang sangat simpatik dan berbudi luhur. Dia selalu senyum dan bersikap ramah, meskipun sedang di tengah operasi. Salah satu ciri khasnya adalah sebagai perokok berat.
Kami memiliki chemistry yang pas. Beliau memimpin dengan penuh ketenangan, kebapakan, tidak pernah menekan anak buah, penuh rasa kasih sayang, dan tidak ingin meninggalkan prajurit. Poskonya bahkan berada di gunung bersama dengan prajurit. Hal ini membuat kami merasa tidak enak jika tidak berbuat yang terbaik bagi beliau.
Dari pengalaman ini, kami mengenal berbagai tipe kepemimpinan. Ada yang keras, ada yang penuh kasih sayang seperti Pak Sudjasmin. Masing-masing memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda, tapi pada intinya semua ingin berhasil.
Seiring waktu, setelah pulang dari operasi di Timor Timur, kami mendengar akan diterjunkan lagi ke sana. Saat itu, Pak Sudjasmin sudah menjabat sebagai Pangdiv saya. Karena mendengar akan digerakkan lagi, kami menjalankan latihan. Pada saat itu juga, Hari Raya Idul Fitri. Setelah shalat Id, kami langsung ke lapangan untuk memulai latihan.
Beberapa saat kemudian, Pak Sudjasmin menelepon saya karena mendengar adanya suara tembakan latihan saat Idul Fitri. Beliau meminta agar latihan dihentikan dan semua anak buah diliburkan, dengan alasan masih dalam suasana Idul Fitri.
Saya berusaha ngotot agar latihan bisa dilanjutkan, dengan alasan kewajiban agama sudah dilaksanakan seperti shalat Idul Fitri dan halalbihalal, sehingga waktu untuk latihan tidak hilang. Namun, Pak Sudjasmin tetap kukuh dalam keputusannya untuk menghentikan latihan, dan akhirnya kami mengikuti perintah beliau.
Pak Sudjasmin adalah seorang panglima yang beragama Katolik, namun sangat menghormati umat Islam yang sedang merayakan Idul Fitri. Sikap beliau ini memengaruhi nilai-nilai bahkan karier saya sampai saat ini. Beliau memperlihatkan bagaimana nilai-nilai toleransi harus dirawat seorang prajurit.
Kami akrab, dan beliau selalu memanggil saya Mas Bravo. Beliau juga jarang memanggil saya dengan sebutan Jenderal Bowo atau Mas Bowo, dan selalu membela saya ketika ada senior yang menjelek-jelekkan saya. Pengalaman ini memengaruhi pandangan saya, bahwa seorang komandan harus menjadi contoh bagi anak buahnya.
Sebagai contoh lain, ketika beliau sudah menjadi Wakasad, saya meminta bantuan beliau untuk membantu seorang perwira dari Papua agar dapat lulus tes SESKOAD. Beliau langsung mengecek apa penyebab perwira tersebut tidak lulus, dan ternyata memiliki gejala penyakit liver. Meskipun demikian, saya tetap meminta agar Pak Sudjasmin meloloskannya karena saya yakin perwira tersebut mampu dan pantas. Akhirnya, perwira asal Papua itu lolos berkat bantuan Pak Sudjasmin, dan ini menunjukkan bagaimana beliau sangat berempati dengan anggota di lapangan.
Prabowo Subianto(Task)