Kamis, 25 April 2024 – 07:57 WIB
VIVA – Sebagai regulasi yang dibentuk oleh Uni Eropa (UE) dengan tujuan untuk mengharuskan uji tuntas terhadap sejumlah komoditas perkebunan dan kehutanan, Regulasi Bebas Deforestasi UE (EUDR) dianggap sebagai salah satu tantangan yang dapat merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan di Indonesia, termasuk kelapa sawit, dan juga dapat mengintip upaya dan komitmen Indonesia dalam menangani masalah perubahan iklim dan perlindungan keanekaragaman hayati sesuai dengan kesepakatan, perjanjian, dan konvensi multilateral.
Merangkum situasi tersebut, Indonesia menjadi negara yang menunjukkan keprihatinan yang serius dan penolakan terhadap tindakan diskriminasi terhadap kelapa sawit oleh UE melalui keberadaan EUDR. Selain itu, Indonesia bersama dengan Malaysia dan Uni Eropa telah sepakat untuk membentuk Gugus Tugas Ad Hoc (Ad Hoc Joint Task Force) tentang EUDR untuk menangani berbagai masalah terkait pelaksanaan EUDR yang dihadapi oleh Indonesia dan Malaysia. Gugus tugas tersebut didirikan untuk mengidentifikasi solusi terbaik terkait implementasi EUDR.
“Penerapan EUDR jelas akan merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan yang sangat penting bagi kami seperti kakao, kopi, karet, produk kayu, dan minyak sawit,” tegas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di hadapan perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil dan Organisasi Non-Pemerintah di Brussel, Belgia, pada akhir bulan Mei tahun lalu.
Sejalan dengan penolakan yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia, dilaporkan melalui mypalmoilpolicy.com, kelompok bipartisan baik dari Partai Republik dan Demokrat juga telah membahas kebijakan EUDR yang dianggap tidak adil bagi petani yang akan memasuki pasar Eropa. Di samping itu, penundaan implementasi atau perubahan regulasi EUDR juga dianggap sebagai salah satu solusi yang dapat dilakukan saat ini.
Selanjutnya, protes terhadap kebijakan EUDR juga sesuai dengan pandangan Menteri Pertanian UE. Sebanyak 20 dari 27 Menteri juga meminta penundaan EUDR, dalam Pertemuan Konfigurasi Dewan Pertanian dan Perikanan (AGRIFISH) yang baru-baru ini diadakan.
“Amerika bipartisan menentang EUDR, jadi EUDR yang diinisiasi oleh Indonesia dalam kunjungan bersama antara Menko Perekonomian dan PM Malaysia, terus mendapatkan dukungan dari negara-negara yang memiliki pandangan serupa, beberapa waktu yang lalu baik pihak Republik maupun Demokrat juga mempertanyakan EUDR. Jadi negara-negara yang memiliki pandangan serupa terinspirasi oleh tindakan yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia,” ungkap Menko Airlangga dalam sesi doorstop di Kantor Menko Perekonomian, Rabu (24/04).
Selain itu, kebijakan EUDR yang telah mendapat sorotan dari New York Times dan Financial Times juga dianggap akan berdampak pada rantai pasokan yang berkelanjutan, harga, dan pilihan konsumen, serta berpotensi merugikan petani dan negara-negara penghasil. Dengan potensi dampak ini, sejumlah produsen pangan dan komoditas berharap ada pendekatan yang lebih terukur.
Lebih lanjut, asosiasi pertanian terkemuka di Uni Eropa, Copa Cogeca, juga telah mengusulkan penundaan implementasi kebijakan EUDR karena kurangnya waktu untuk menyiapkan kerangka kerja yang lebih sesuai yang tidak dapat diselesaikan sebelum batas waktu implementasi kebijakan EUDR.
Selain Amerika Serikat dan Asosiasi Pertanian Eropa yang mengkritik kebijakan EUDR tersebut, kekhawatiran juga diutarakan oleh negara-negara seperti India dan Brazil serta negara-negara lain yang menyatakan kekhawatiran serius terkait tuntutan dari implementasi kebijakan EUDR tersebut.