Dalam usia yang sangat muda, Ignatius Slamet Riyadi, lahir pada 26 Juli 1927, membentuk pasukan gerilya untuk mendukung proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bahkan dia telah berjuang sejak zaman penjajahan Jepang. Pada awal pendudukan Jepang, Slamet Riyadi yang berasal dari Solo ini masuk Akademi Kelautan milik Pemerintahan Militer Jepang di Jakarta.
Ketika Jepang pada akhirnya kalah dalam Perang Dunia II, Slamet Riyadi mengajak rekan-rekannya sesama pelaut untuk angkat senjata. Mereka bahkan berhasil membawa kabur kapal milik Jepang. Setelah itu, Slamet Riyadi kembali ke Solo dan menghimpun para pemuda eks PETA, Heiho, Kaigun untuk membantu perjuangan rakyat Solo melawan pasukan Belanda yang berupaya kembali menjajah Indonesia.
Dalam perjuangannya, Slamet Riyadi langsung terlibat dalam berbagai aksi peperangan melawan Belanda, termasuk saat Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II. Ia memimpin pasukan di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk di Ambarawa dan Semarang. Slamet Riyadi selalu berada di depan pasukannya dan pasukannya terkenal berhasil mengimbangi kekuatan pasukan Belanda.
Dalam usianya yang masih muda, Slamet Riyadi memiliki pangkat Letnan Kolonel, memimpin Serangan Umum Surakarta pada tanggal 7-10 Agustus 1949. Serangan yang disebut juga sebagai Serangan Umum Empat Hari ini dilakukan sebelum diberlakukannya gencatan senjata untuk menunjukkan kekuatan militer TNI dalam mengusir Belanda dari Tanah Air. Atas keberhasilan serangan tersebut, Slamet Riyadi menerima otoritas Surakarta dari pihak Belanda lewat Mayjen F. Mollinger.
Slamet Riyadi juga dikirim ke Jawa Barat untuk melawan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang terbentuk pada bulan Januari 1950 di Bandung. Bahkan setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada akhir Desember 1949, Slamet Riyadi dikirim ke Ambon untuk menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 10 Juli 1950.
Dalam operasi penumpasan pemberontakan RMS yang dicetuskan Dr. Soumokil, Slamet Riyadi dipercaya pimpinan ABRI sebagai Panglima operasi. Pasukan TNI berhasil menduduki Kota Ambon secara umum kecuali beberapa posisi strategis musuh, khususnya Benteng Victoria yang dipertahankan habis-habisan oleh pasukan pemberontak.
Pada saat itu pasukan pemberontak diperkuat oleh keberadaan Pasukan Istimewa yang lazim disebut “Red Caps” (Baret Merah) dan “Green Caps” (Baret Hijau), yang memiliki kemampuan dan pengalaman tempur tangguh, sehingga sering dapat menggagalkan serangan TNI yang kekuatannya lebih besar. Meski pada akhirnya Benteng Victoria berhasil direbut, dalam suatu pertempuran sengit yang terjadi di pintu gerbang benteng, Slamet Riyadi terkena rentetan tembakan dari pihak pasukan pemberontak saat memberikan aba-aba kepada anak buahnya. Walaupun usaha pertolongan telah diberikan, beliau gugur pada pukul 21.45 tanggal 4 November 1950.
Brigadir Jenderal TNI Anumerta Slamet Riyadi telah membuktikan kepada generasi-generasi pemimpin TNI berikutnya bahwa beliau adalah seorang pemimpin yang selalu tampil di depan dan berada bersama anak buahnya. Beliau selalu hadir pada tempat dan saat yang paling kritis, mengendalikan keadaan dari dekat serta memberikan teladan. Tidak gentar menghadapi risiko apa pun, yang ditunjukkan dengan pengorbanan jiwa dan raga demi kejayaan negara dan bangsa serta Angkatan Bersenjata Indonesia.